Langganan:
Posting Komentar (Atom)
USAHA BUDIDAYA NILA MERAH MERUPAKAN BISNIS YANG MENJANJIKAN DAN MEMILIKI PROSPEK YANG CERAH
LELE DI KALIMANTAN BARAT
Oleh : Adi Suryadi
(Mahasiswa sem akhir Fak Kelautan dan Perikanan jur budidaya UMP Pontianak)
Sejarah masuknya lele dumbo (Clarias gariepinus) di Kalimtantan Barat belum di ketahui secara pasti, akan tetapi menurut pelaku usaha budidaya lele dumbo yang sudah lama (sejak 1980) seperti Mas keli mengatakan bahwa masyarakat di Kalimantan Barat sudah membudidayakan lele dumbo sejak tahun 70-an. Meskipun pada saat itu baru usaha pembesaran dengan skala kecil dengan cara mendatangkan benih dari pulau jawa. Seiring dengan perkembangan teknologi dan dengan makin meningkatnya permintaan akan lele dumbo maka pada tahun 80-an dimulailah usaha pemijahan (hachry) di Kalbar.
Pengaruh kultur dan budya turut juga mempengaruhi perkembangan usaha lele dumbo (Clarias gariepinus) di Kalimantan barat, dulu orang Pontuanak pada umnnya masih geli mengkonsumsi ikan lele karena ada animo yang berkembang di masyarakat mengatakan bahwa ikan keli (lele lokal) berasal dari kuburan dan memakan bangkai (mayat). Pendapat ini ada benarnya juga, karena sifat lele pada dasarnya karnifor (pemakan daging).
Dari tahun ke tahun usaha budidaya lele dumbo (Clarias gariepinus) di kalimantan barat makin berkembang dengan banyaknya orang jawa masuk ke Kalimantan Barat melalui program transmigrasi. Di kota Pontianak khususnya orang jawa ini mulai mendirikan usaha warung pecel lele dan puncak perkembangannya pada tahun 2002 penulis mendata dengan metode survey di lapangan ada sekitar lebih dari 100 warung pecel lele di Kota Pontianak dan sekitarnya, dengan rata-rata setiap usaha warung pecel lele menghabiskan antara 3-5 kg setiap malamnya (300-500 kg/hari). Yang menarik adalan warung pecel lamongan yang terletak di Jl Juanda (Pemiliknya Pak Ari) dapat menghabiskan rata-rata 100-200 kg/malam. Jika di total maka permintaan ikan lele dumbo konsumsi rata-rata aadalah 500-700 kg/hari.
Untuk memenuhi permintaan lele konsumsi tersebut maka para pelaku usaha budidaya baik di kota Pontianak maupun di kabupaten2 berlomba-lomba untuk mengusahakan usaha pemijahan (hachry). Menurut penulis dengan metode survey di lapangan usaha hachry mulai marak sejak tahun 2000-an, pembudidaya mulai beralih pemikirannya dari mengambil benih dari jawa lalu dibesarkan di kota pontianak/kabupaten dengan menijahkan sendiri lalu dibesarkan atau di jual ke pembudidaya pembesaran.
Peran pemerintah juga tak kalah penting dalam mendukung usaha kecil-menengah termasuk usaha budidaya lele dumbo dan ikan konsumsi air tawar lainnya (nila, mas, patin, bawal, jelawat, gurame) .
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalbar pernah meluncurkan program bantuan yang merupakan program dari (Dirjen Perikanan dan Kelautan Bidang Budidaya) berbentuk dana hibah maupun bantuan benih dan pakan/pelet ikan. Akan tetapi menurut penulis dari survey dan wawancara di lapangan program tersebut tidak berjalan baik (optimal).
Menurut penilaian penulis setelah mengamati perkembangan budidaya ikan air tawar dengan metode survey langsung di lapangan dan wawancara dengan pembdidaya pembesaran di KJA sui Kapuas dari tahun 1998 sampai sekarang, lambatnaya perkembangan budidaya lele dumbo khususnya dan ikan konsumsi air tawar (nila, mas, patin, bawal, gurame/Kaloy,Jelawat dll) umunnya adalah sebagai berikut :
1. Kurangnya pemahaman/keilmuan petani ikan dalam membudidayakan ikan air tawar baik dengan metode KJA/KJT (Keramba Jaring Apung/Tancap) maupun metode budidaya di kolam tanah dan bak semen/terpal.
2. Kondisi alam ataupun kualitas air (sungai Kapuas) sebagai sumber air yang kian memburuk dari tahun ke tahun disebabkan banyaknya penebangan hutan (ilegal logging) dan PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) sehingga sebenarnya tak layak lagi memelihara ikan di sungai Kapuas. Saat ini ikan yang relatif masih tahan dipelihara di sui Kapuas adalah jenis nila.
3. Kurangnya tenaga Penyuluh Perikanan yang berkompeten di bidangnya, seharusnya pemerintah dari tingkat pusat, provinsi, kota dan kabupaten secara bijaksana dapat menganggarkan dana untuk penyuluh perikanan budidaya, disamping tenaga pengawas perikanan dan dapat menyeleksi ketat baik akademik maupun skilnya. Sedangkan kebanyakan yang terjadi di Instasi/departemen/dinas/ negara kita adalah WRONG PERSON IN THE WRONG PLACE, walaupun tidak semua seperti itu mudah-mudahan.
4. Program Pemerintah yang tidak tepat sasaran, seharusnya pemerintah (Dinas Perikanan dan Kelautan Prov Kalbar) lebih mendukung/memperhatikan pada bidang Produksi/hachry (ikan air tawar dan laut) agar benih ikan yang dihasilkan akan tahan/terbiasa dengan iklim di Kalbar. Bukan pada pemikiran yang singkat dan instan yaitu mengambil benih dari pulau lain (P.jawa) lalu di pelihara di Kalbar yang belum tentu cocok dengan kondisi Iklimnya. Sebenarya sah-sah saja hal itu dilakukan akan tetapi tidak menjadi konsep untuk tujuan jangka panjang.
5. Kurangnya sarana dan prasarana dan atau (teknologi tepat guna), seperti rekayasa genetika (untuk mencari varietes yang tahan dengan kondsi air di KALBAR), mesin pelet yang sederhana dan murah yang dapat mengolah (ikan rucah/dedak/ampas tahu/kepala udang/usus ayam/ayam mati) menjadi pakan buatan/pelet. Kalaupun ada belum digunakan secara Optimal.
6. Kurangnya koordinasi yang baik antara instansi/dinas terkait maupun dengan masyarakat. Kelompok tani sudah banyak dibentuk spt (UPP, UPR, dsb) akan tetapi tidak berjalan optimal karena kurangnya kesadaran dari masyarakat, kurangnya tenaga teknis atau karena adanya kepetingan oknum-oknum tertentu yang hanya mencari keuntungan semata dengan tidak memperhatikan orang banyak (pembudidaya kecil)/tidak berpikir jangka panjang?
Demikianlah sedikit tulisan ini yang dapat penulis sampaikan, mudah-mudahan dapat menjadi renungan bagi kita semua (masyarakat Kalbar), khususnya para pelaku pembudidaya ikan. Wassalam
NB : Tulisan tentang Lele dumbo jenis Sangkuriang dan Phyton selanjutnya akan dimuat, sementara waktu penulis masih dalam tahap proses penelitian dan pengambilan data di lapangan, kesimpulan sementara yang di dapat lele jenis tersebut kurang dapat menyesuaikan dengan kondisi air di Kalbar (asam) karena umumnya lahan gambut, terkecuali sudah di domestikasi dalam beberapa waktu yang cukup sehingga dapat di pijahkan di Kalbar dan benih yang dihasilkan akan tahan, saat ini penulis berusaha menyilangkan lele lokal asli Kalbar (nama lokal: limbat) dengan lele dumbo............
LELE DI KALIMANTAN BARAT
Oleh : Adi Suryadi
(Mahasiswa sem akhir Fak Kelautan dan Perikanan jur budidaya UMP Pontianak)
Sejarah masuknya lele dumbo (Clarias gariepinus) di Kalimtantan Barat belum di ketahui secara pasti, akan tetapi menurut pelaku usaha budidaya lele dumbo yang sudah lama (sejak 1980) seperti Mas keli mengatakan bahwa masyarakat di Kalimantan Barat sudah membudidayakan lele dumbo sejak tahun 70-an. Meskipun pada saat itu baru usaha pembesaran dengan skala kecil dengan cara mendatangkan benih dari pulau jawa. Seiring dengan perkembangan teknologi dan dengan makin meningkatnya permintaan akan lele dumbo maka pada tahun 80-an dimulailah usaha pemijahan (hachry) di Kalbar.
Pengaruh kultur dan budya turut juga mempengaruhi perkembangan usaha lele dumbo (Clarias gariepinus) di Kalimantan barat, dulu orang Pontuanak pada umnnya masih geli mengkonsumsi ikan lele karena ada animo yang berkembang di masyarakat mengatakan bahwa ikan keli (lele lokal) berasal dari kuburan dan memakan bangkai (mayat). Pendapat ini ada benarnya juga, karena sifat lele pada dasarnya karnifor (pemakan daging).
Dari tahun ke tahun usaha budidaya lele dumbo (Clarias gariepinus) di kalimantan barat makin berkembang dengan banyaknya orang jawa masuk ke Kalimantan Barat melalui program transmigrasi. Di kota Pontianak khususnya orang jawa ini mulai mendirikan usaha warung pecel lele dan puncak perkembangannya pada tahun 2002 penulis mendata dengan metode survey di lapangan ada sekitar lebih dari 100 warung pecel lele di Kota Pontianak dan sekitarnya, dengan rata-rata setiap usaha warung pecel lele menghabiskan antara 3-5 kg setiap malamnya (300-500 kg/hari). Yang menarik adalan warung pecel lamongan yang terletak di Jl Juanda (Pemiliknya Pak Ari) dapat menghabiskan rata-rata 100-200 kg/malam. Jika di total maka permintaan ikan lele dumbo konsumsi rata-rata aadalah 500-700 kg/hari.
Untuk memenuhi permintaan lele konsumsi tersebut maka para pelaku usaha budidaya baik di kota Pontianak maupun di kabupaten2 berlomba-lomba untuk mengusahakan usaha pemijahan (hachry). Menurut penulis dengan metode survey di lapangan usaha hachry mulai marak sejak tahun 2000-an, pembudidaya mulai beralih pemikirannya dari mengambil benih dari jawa lalu dibesarkan di kota pontianak/kabupaten dengan menijahkan sendiri lalu dibesarkan atau di jual ke pembudidaya pembesaran.
Peran pemerintah juga tak kalah penting dalam mendukung usaha kecil-menengah termasuk usaha budidaya lele dumbo dan ikan konsumsi air tawar lainnya (nila, mas, patin, bawal, jelawat, gurame) .
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalbar pernah meluncurkan program bantuan yang merupakan program dari (Dirjen Perikanan dan Kelautan Bidang Budidaya) berbentuk dana hibah maupun bantuan benih dan pakan/pelet ikan. Akan tetapi menurut penulis dari survey dan wawancara di lapangan program tersebut tidak berjalan baik (optimal).
Menurut penilaian penulis setelah mengamati perkembangan budidaya ikan air tawar dengan metode survey langsung di lapangan dan wawancara dengan pembdidaya pembesaran di KJA sui Kapuas dari tahun 1998 sampai sekarang, lambatnaya perkembangan budidaya lele dumbo khususnya dan ikan konsumsi air tawar (nila, mas, patin, bawal, gurame/Kaloy,Jelawat dll) umunnya adalah sebagai berikut :
1. Kurangnya pemahaman/keilmuan petani ikan dalam membudidayakan ikan air tawar baik dengan metode KJA/KJT (Keramba Jaring Apung/Tancap) maupun metode budidaya di kolam tanah dan bak semen/terpal.
2. Kondisi alam ataupun kualitas air (sungai Kapuas) sebagai sumber air yang kian memburuk dari tahun ke tahun disebabkan banyaknya penebangan hutan (ilegal logging) dan PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) sehingga sebenarnya tak layak lagi memelihara ikan di sungai Kapuas. Saat ini ikan yang relatif masih tahan dipelihara di sui Kapuas adalah jenis nila.
3. Kurangnya tenaga Penyuluh Perikanan yang berkompeten di bidangnya, seharusnya pemerintah dari tingkat pusat, provinsi, kota dan kabupaten secara bijaksana dapat menganggarkan dana untuk penyuluh perikanan budidaya, disamping tenaga pengawas perikanan dan dapat menyeleksi ketat baik akademik maupun skilnya. Sedangkan kebanyakan yang terjadi di Instasi/departemen/dinas/ negara kita adalah WRONG PERSON IN THE WRONG PLACE, walaupun tidak semua seperti itu mudah-mudahan.
4. Program Pemerintah yang tidak tepat sasaran, seharusnya pemerintah (Dinas Perikanan dan Kelautan Prov Kalbar) lebih mendukung/memperhatikan pada bidang Produksi/hachry (ikan air tawar dan laut) agar benih ikan yang dihasilkan akan tahan/terbiasa dengan iklim di Kalbar. Bukan pada pemikiran yang singkat dan instan yaitu mengambil benih dari pulau lain (P.jawa) lalu di pelihara di Kalbar yang belum tentu cocok dengan kondisi Iklimnya. Sebenarya sah-sah saja hal itu dilakukan akan tetapi tidak menjadi konsep untuk tujuan jangka panjang.
5. Kurangnya sarana dan prasarana dan atau (teknologi tepat guna), seperti rekayasa genetika (untuk mencari varietes yang tahan dengan kondsi air di KALBAR), mesin pelet yang sederhana dan murah yang dapat mengolah (ikan rucah/dedak/ampas tahu/kepala udang/usus ayam/ayam mati) menjadi pakan buatan/pelet. Kalaupun ada belum digunakan secara Optimal.
6. Kurangnya koordinasi yang baik antara instansi/dinas terkait maupun dengan masyarakat. Kelompok tani sudah banyak dibentuk spt (UPP, UPR, dsb) akan tetapi tidak berjalan optimal karena kurangnya kesadaran dari masyarakat, kurangnya tenaga teknis atau karena adanya kepetingan oknum-oknum tertentu yang hanya mencari keuntungan semata dengan tidak memperhatikan orang banyak (pembudidaya kecil)/tidak berpikir jangka panjang?
Demikianlah sedikit tulisan ini yang dapat penulis sampaikan, mudah-mudahan dapat menjadi renungan bagi kita semua (masyarakat Kalbar), khususnya para pelaku pembudidaya ikan. Wassalam
NB : Tulisan tentang Lele dumbo jenis Sangkuriang dan Phyton selanjutnya akan dimuat, sementara waktu penulis masih dalam tahap proses penelitian dan pengambilan data di lapangan, kesimpulan sementara yang di dapat lele jenis tersebut kurang dapat menyesuaikan dengan kondisi air di Kalbar (asam) karena umumnya lahan gambut, terkecuali sudah di domestikasi dalam beberapa waktu yang cukup sehingga dapat di pijahkan di Kalbar dan benih yang dihasilkan akan tahan, saat ini penulis berusaha menyilangkan lele lokal asli Kalbar (nama lokal: limbat) dengan lele dumbo............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar